Rabu, 03 Juli 2013

Hubungan Abnormalitas dengan Kosep Motivasi, Stres dan Gender

Apakah Perilaku Abnormal itu?

Ada beberapa kriteria yang digunakan untuk menentukan suatu perilaku abormal. Antara lain :

      1. Statistical Infrequency

Perspektif ini menggunakan pengukuran statistik dimana semua variabel yang akan di ukur didistribusikan ke dalam suatu kurva normal atau kurva dengan bentuk lonceng. Kebanyakan orang akan berada pada bagian tengah kurva, sebaliknya abnormalitas di tunjukkan pada distribusi di kedua ujung kurva.
Digunakan dalam bidang medis atau psikologis. Misalnya mengukur tekanan darah tinggi badan, intelegensi, keterampilan membaca, dsb. Namun, kita jarnag menggunakan istilah abnormal untuk salah satu kutub ( sebelah kanan ). Misalnya orang yang mempunyai IQ 150 tidak disebut sebagai abnormal tapi jenius. Tidak selamanya yang jarang terjadi adalah abnormal. Misalnya seorang atliet yang mempunyai kemampuan luar biasa tidak dikatakan abnormal. Untuk itu dibutuhkan informasi lain sehingga dapat ditentukan apakah perilaku itu normal atau abnormal.

      2. Unexpectedness

Biasanya perilaku abnormal merupakan suatu bentuk respon yang tidak diharapkan terjadi. Contohnya tiba-tiba menjadi ce,as ketika berada di tengah-tengah suasana keluarganya yang berbahagia. Atau seseorang mengkhawatirkan kondisi keuangan keluarganya, padahal ekonomi keluarganya saat itu sedang meningkat. Respon yang ditunjukkan adalah tidak diharapkan terjadi.

       3. Violation of norms

Perilaku abnormal ditentukan dengan mempertimbangkan konteks sosial dimana perilaku tersebut terjadi. Jika perilaku sesuai dengan norma masyarakat, berarti normal sebaliknya jika bertentangan dengan norma yang berlaku, berarti abnormal. Kriteria ini mengakibatkan definisi abnormal bersifat relatif tergantung pada norma masyarakat dan budaya pada saat itu. Misalnya di Amerika serikat pada tahun 1970-an, homoseksual merupakan perilaku abnormal, tapi sekarang homoseksual tidak dianggap abnormal. Walapun kriteria ini dapat membantu untuk mengklarifikasi relativitas definisi abnormal sesuai sejarah dan budaya tetapi kriteria ini tidak cukup untuk nendefinisikan abnormalitas. Misalnya pelacuran dan perampokan yang jelas melanggar norma masyarakat tidak dijadikan salah satu kajian dalam psikologi abnormal.

       4. Personal distress

Perilaku dianggap abnormal jika hal itu menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan bagi individu. Tidak semua  gangguan (disorder) menyebabkan distress. Misalnya psikopat yang mengancam atau melukai orang lain tanpa menunjukkan suatu rasa bersalah atau kecamasan. Juga tidak semua penderitaan atau kesakitan merupakan abnormal. Misalnya seseorang sakit karena disuntuk. Kriteria ini bersifat subjektif karena susah untuk menetukan standar tingkat distress seseorang agar dapat diberlakukan secara umum.

       5. Disability

Individu mengalami ketidakmampuan (kesulitan) untuk mencapai tujuan karena abnormalitas yang dideritanya, msalnya para pemakai narkoba dianggap abnormal karena pemakaian narkoba telah mengakibatkan mereka mengalami kesulitan untuk menjalankan fungsi akademik, sosial atau pekerjaan. Tidak begitu jelas juga pakah seseorang yang abnormal juga mengalami disability. Misalnya seseorang yang mempunyai gangguan seksual voyeurisme (mendapatkan kepuasan seksual dengan cara mengintip orang lain telanjang atau sedang melakukan hubungan seksual), tidak jelas juga apakah ia mengalami disability dalam masalah seksual.

Dari semua kriteria diatas menunjukan bahwa perilaku abnormal sulit untuk didefinisikan. Tidak ada satupun kriteria yang secara sempurna dapat membedakan abnormal dari perilaku normal. Tapi sekurang-kurangnya kriteria tersebut berusaha untul dapat menetukan definisi perilaku abnormal. Dan adanya kriteria pertimbangan sosial menjelaskan bahwa abnormalitas adalah suatu yang bersifat relatif dan dipengaruhi oleh budaya serta waktu.

Hubungan abnormalitas dengan Motivasi, Stress, dan Gender

A.      Abnormalitas dengan Motivasi

Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) sesorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegitan, baik yang berumber dari dlam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).

McDonald memilih pengertian motivasi sebagai perubahan tenaga di dalam diri seseorang yang ditandai oleh dorongan efektif dan reaksi-reaksi mencapai tujuan, motivasi merupakan msalah kompleks dalam organisasi, karena kebutuhan dan keinginan setiap anggota organisasi berbeda satu denganyang lainnya. Hal inii berbeda karena setiap anggota suatu organisasi adalah unik secara biologis maupun psikologis, dan berkembang atas dasar proses belajar yang berbeda pula. seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak mentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya.

Dalam konteks studi psikologi, Abin Syamsuddin Makmur (2003) mengemukakan bahwa untuk memahami motivasi individu dapat dilihat dari beberapa indikator, diantaranya :
1.      Durasi kegiatan
2.      Frekuensi kegiatan
3.      Persistensi pada kegiatan
4.      Ketabahan, keuletan dan lemampuan dalam menghadapi
          rintangan dan kesu;itan
5.      Devosi dan pengorbanan untuk mencapai tujuan
6.      Tingkat aspirasi yang hendak dicapai dengan kegiatan yang
          dilakukan
7.      Tingkat kualifikasi prestasi atau produk (out put) yang
          dicapai dari kegiatan yang dilakukan
8.      Arah sikap terhadap sasaran kegiatan

Untuk memahami tentang motivasi, kita akan bertemu dengan beberapa teori tentang motivasi, antara lain :

Teori Abraham H. Maslow, teori McClelland ( teori kebutuhan berprestasi), teori Clyton Alderfer (Teori ERG), teori Herberg (teori dua faktor), teori keadilan, teori penepatan tujuan, teori victor H. Vroom (teori harapan), teori penguatan dan mmodifikasi perilaku dan teori kaitan Imbalan denagn prestasi.

Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologi) dan yang kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kehidupan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intesitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang unik. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut terutama diarahkan pada konsep “hierarki” yang dikemukakan oleh Maslow. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak aakna berusaha memuaskan kebutuhan kedua, dalam hal ini keamanan sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi, yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian seterusnya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebiutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa :

Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang. Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam amana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu. Kendati pemiukiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan fundasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif.

B.      Abnormalitas dengan Stress

Stress menunjukan adanya tekanan atau kekuatan pada tubuh. Dalam psikologi stress digunakan untuk menunjukkan suatu tekanan atau tuntutan yang dialami individu atau oranisme agar ia beradaptasi atau menyesuaikan diri.

Definisi stress menurut Selye adalah respon non spesifik dari badan terhadap setiap tuntutan yang dibuat atasnya. Sedangkan menurut Robert S. Feldman (1989), stres adalah proses yang meniai suatu peristiwa sebagai sesuatu yang mengancam, menentang, membahayakan dan individu perespon peristiwa itu pada level fisiologis, emosional, kognitif dan perilaku. Stres adalah keadaan yang kita alami ketika ada sebuah ketidaksesuaian antara tuntutan0tuntutan yang diterima dan kemampuan utuk mengatasi (Looker & Gregson, 2005). Jadi stres adalah keadaan dimana individu merasa terancam oleh lingkungannya, dan individu tersebut berusaha untuk menyeimbangkan antara psikis dan fisik terhadap lingkungan tersebut.

Stres ada yang bersifat negatif (distress) dan positif (eustress). Distress contohnya adalah kepadatan dan kemacetam lalu lintas, beban ekonomi, kehilangan seseorang yang di cintai dll. Stres dalam hal ini bisa berdampak negatif ke orang yang mengaaminya, sedangkan eustress contohnya adalah merencanakan pesta pernikahan, menunggu anak pertama dll.

Stres yang di timbulkan pada setiap orang berbeda-beda, walaupun oeristiwa yang di alami itu sama. Ada orang yang menjadi sangat kreatif dan produktif justru dalam keadaan stres. Ada seorang pelajar yang tadinya tidak pernah belajar justru baru belajar secara efektif pada saa menjelang ujian. Intinya semakin besar peristiwa yang tidak dapat dikendalikan, semakin besar pula stres yang ditimbulkan. Salah satu alsan mengapa peristiwa itu menyebabkan stres adlah karena orang itu tidak mampu mengontrol atau tidak siap mengalami terjadinya peristiwa itu.

Ada beberpa reaksi psikologi terhdapa stres :

1.      Kecemasan

Respon yang paling umum terhdap suatu stresor (sumber stres) adalah kecemasan, kecemasan adlaah emosi yang tidak menyenangkan yang di tandai perasaan kuatir, perihatin, tegang, dan takut yang dialami oleh manusia dengan tingkatan yang berbeda-beda. Orang yang mengalami ini misalnya bencana alam, pemerkosaan, penculikan akan mengalami gejala sangat berat dengan kecemasan yang disebut stres pasca traumatic, dampak yang di terima adalah :

Ø  Hilangnya minat menjalankan aktifitas dahulunya dan adanya
      rasa tersingkir dari orang lain.

Ø  Adanya rasa trauma yang berulang-ulang dalam kenangan
      mimpi.

Ø  Gangguan tiudr sulit berkonsentrasi

2.      Kemarahan dan Agresi

Reaksi ini timbul  jika upaya seseorang ini mencapai tujuannya terhalangi. Akibatnya muncul dorongan agresi yang selanjutnya memotivasi perilaku untuk merusak objek atau menyebabkan frustasi. Anak –anak sering menunjukan perilaku agresi jika mengalami frustasi.

3.      Apati dan Depresi

Reaksi ini timbul jika seseorang individu mengalami kondisi yang terus berjalan dan individu tidak bisa mengontrol atau mengatasinya, maka dapat menjadi semakin berat dan timbullah depresi.

4.      Gangguan Kognitif
Selain reaksi emosi dapak dari stres, individu juga menunjukkan gangguan kognitif berat jika berhadapan dengan stresor yang serius. Mereka sulit berkonsentrasi, sulir mengorganisrikan pikiran secara logis. Akibatnya individu yang melakukan pekerjaan yang kompleks cenderung memburuk. Gangguan ini berasa dari dua sumber yaitu:

Ø  Tingkatan emosional yang tinggi ini menyebabkan menggangukan pengolahan informasi, semakin cepat marah dan cemas.

Ø  Kognitif juga dapat mengganggu dalam otak ketika berhadapan dengan stresor. Contoh soal ujian. Diaman sorang siswa takut mengerjakan soal, takut gagal, atau takut ketidakmampuannya dalam mengerjakan soal. Siswa menjadi sangat terganggu boleh pikiran negatif tersebut sehingga tidak dapat mengikuti instruksi dengan benar atau sulit untuk mengerjakan soal.

       C. Abnormalitas dengan Gender

            Pengertian peran gender menurut Myers (1996), adalah set tingkah laku yang diharapkan (berupa norma) untuk pria dan wanita. Menurut Baron & Byrne (2004), gender merujuk pada segala sesuatu yang berhubungan dengan jenis kelamin individu, termasuk atribut, tingkah laku, karakteristik kepribadian dan harapan yang berhubungan dengan jenis kelamin biologis seseorang dalam budaya yang berlaku. Sejalan dengan itu Bem (1981), mendefinisikan gender merupakan karakteristik kepribadian, seseorang yang dipengaruhi oleh peran gender yang dimilikinya dan dikelompokkan menjadi klasifikasi yaitu maskulin, feminin, androgini dan undifferentiated. Konsep gender dan peran gender merupakan dua konsep yang berbeda, gender merupakan istilah biologis, orang-orang dilihat sebagai pria atau wanita tergantung dari organ-organ dan gen-gen jenis kelamin mereka.

            Sementara peran gender sebagai sebuah karakteristik memiliki determinan lingkungan yang kuat dan berkaitan dengan dimensi maskulin versus feminine (Stewart & Lykes dalam Saks dan Krupat, 1998). Ketika berbicara mengenai gender, beberapa konsep berikut ini turut terlibat di dalamnya :

  •      Gender role (peran gender), merupakan definisi atau preskripsi yang berakar pada kultur terhadap tingkah laku pria atau wanita.
  •      Gender identity (identitas gender), yaitu bagaimana seseorang mempresepsi dirinya sendiri dengan memperhatikan jenis kelamin dan peran gender.
  •       Serta sex role ideology (ideologi peran jenis kelamin), termasuk di antaranya stereotipe-stereotipe gender, sikap pemerintah dalam kaitan antara kedua jenis kelamin dan status-status relatifnya (Segall, Dasen, Beny, & Poortinga, 1990). Kepentingan didalam membedakan antar jenis kelamin dan peran gender berangkat dari pentingnya untuk membedakan antar aspek-aspek biologi dengan aspek-aspek sosial didalam menjadi pria atau wanita. Bahkan yang paling sering terjadi adalah bahwa orang-orang mengasumsikan kalau perbedaan kepribadian dan sikap yang tampak antara pria dan wanita sangat berkaitan dengan perbedaan jenis kelamin (Basow, 1992).

            Jika kita menyamakan antara gender dan peran gender dapat mengarahkan keyakinan bahwa perbedaan trait-trait dan tingkah laku antara pria dan wanita mengarah langsung kepada perbedaan secara biologis. Sementara jika kita membedakan konsep gender dan peran gender akan membantu kita untuk menganalisa keterkaitan yang kompleks antara gender dan peran gender secara umum. Ini yang membuat sangat penting untuk membedakan antar gender dengan peran gender. Unger (dalam Basow, 1992) menyebutkan bahwa dalam psikologi baru mengenai gender dan peran gender, ke-pria-an dan ke-wanita-an dilihat lebih sebagai konstruk sosial yang dikonfirmasikan melalui gaya karakteristik gender dalam penampilan diri dan distribusi antara pria dan wanita ke dalam peran-peran dan status sosial yang berbeda, dan dipertahankan oleh kebutuhan-kebutuhan intrapsikis terhadap konsistensi diri dan kebutuhan untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai sosial.

            Oleh karena itu, peran gender dikonstruksikan oleh manusia lain. Bukan secara biologi, dan konstruksi ini dibentuk oleh proses-proses sejarah, budaya, dan psikologis (Basow, 1992). Kini lebih banyak digunakan istilah peran gender daripada gender di dalam mempelajari tingkah laku pria dan wanita di dalam suatu konteks sosial.

Orientasi Peran Gender

            Bem (dalam Basow) menyertakan bahwa terdapay dua model peran gender  di dalam menjelaskan mengenai maskulinitas dan feminitas, dalam kaitannya dengan laki-laki dan perempuan, yaitu model tradisional dan model non tradisional (Nauly, 2003)

            Model tradisional memandang feminitas dan Maskulinitas sebagai suatu dikotomi Model tradisional menyebutkan bahwa maskulinitas, dan feminitas merupakan titik-titik yang berlawanan pada sebuah kontinum yang bipolar. Pengukuran yang ditunjukan untuk melihat maskulinitas dan feminitas mnyebutkan derajat yang tinggi dari maskulin yang menunjukkan derajat yang rendah dari feminitas, begitu juga sebaliknya, derajat yang tinggi dari feminitas menunjukkan derajat yang rendah dari maskulinitas (Nauly, 2003)

            Menurut pandangan model tradisional ini, penyesuaian diri yang positif di hubungkan dengan kesesuaian antara tipe peran gender dengan gender seseorang. Seorang pria akan memiliki penyesuaian diri yang positif jika ia menunjukkan maskulinitas yang tinggi dan feminitas yang rendah. Dan sebaliknya, seorang wanita yang memiliki penyesuaian diri yang positif adalah wanita yang menunjukkan feminitas yang tinggi serta maskulinitas yang  rendah (Nauly, 2003)

            Model tradisional dengan pengukuran yang bersifat bipolar ini memiliki konsekuensi, yaitu dimana individu-individu yang memiliki ciri-ciri maskulinitas dan feminitas yang relatif seimbang tidak akan terukur, sehingga menimbulkan reaksi dengan dikembangkannya model yang bersifat non tradisional (Nauly, 2003). Model ini dapat digambarkan secara sederhana melalui gambar di bawah ini yang menjelaskan  konseptualitas dan maskulinitas-feminitas sebagai dimensi atau kontinum tinggal yang memiliki yang berlawanan.

            Sedangkan nontradisional menyatakan bahwa maskulinitas dan feminitas lebih sesuai dikonseptualisasikan secara terpisah, dimana masing-masing merupakan dimensi yang independen. Model yang ini memandang feminitas dan maskulinitas bukan merupakan sebuah dikotomi, hal ini menyebabkan kemungkinan untuk adanya pengelompokkan yang lain, yaitu androgini, yaitu laki-laki atau perempuan yang dapat memiliki ciri-ciri maskulinitas sekaligus ciri-ciri feminitas. Model non trdisional ini dikembangkan sekilas tahun 1970-an oleh sejumlah penulis (Bem, 1974) yang menyatakan bahwa maskulinitas dan feminitas lebih sesuai dikonseptualisasikan secara terpisah, karena masing-masing merupakan dimensi yang independen.

            Model ini dapat dijelaskan secara sederhana melalui gambar di bawah ini. Disini di jelaskan bahwa konseptualisasi maskulinitas-feminitas digunakan sebagai dimensi yang terpisah.

            Berdasarkan pandangan ini, Sandra Bem (dalam Basow, 1992) mengklasifikasikan tipe peran gender  menjadi 4 bagian, yaitu :

  •      Sex-typed : seorang lelaki yang mendapat skor tinggi pada maskulinitas dan skor rendah pada feminitas. Pada perempuan, yang mendapatkan skor tinggi pada feminitas dan mendapat skor rendah pada maskulinitas.
  •    cross-sex-typed : laki-laki yang mendapatkan tinggi pada feminitas dan skor rendah maskulinitas. Sedangkan perempuan, yang memiliki skor yang tinggi pada maskulinitas dan skor yang rendah pada feminitas.
  •       Androginy : laki-laki dan perempuan yang mendapatkan skor tinggi baik pada maskulinitas maupun feminitas
  •    Indifferentiated : laki-laki dan perempuan yang mendapatkan skor rendah baik pada maskulinitas maupun feminitas.

            Berdasarkan konsep ini, Bem (dalam Santrock, 2003) kemudian mengembangkan alat ukur yang disebut Bem Sex role inventory (BSRI). Alat tes ini terdiri dari 60 kata sifat, 20 diantaranya merupakan kata sifat yang menunjukkan karakteristik maskulin (karakteristik instrumental), 20 kata sifat lainnya menunjukkan karakteristik feminin (karakteristik ekspresif) dan sisanya menunjukkan karakteristik yang tidak dengan peran gender  namun diharapkan oleh masyarakat untuk dimiliki oleh tiap individu.

            Melalui BSRI, individu diklasifikasikan dalam hal kepemilikan satu dati empat orientasi tipe peran gender, yaitu :
  1.       Maskulin
  2.      Feminim
  3.      Androgini
  4.     Undifferentiated

            Berdasarkan model nontradisional ini, terdapat semacam klasifikasi kepribadian yang mulai banyak dibicarakan sebagai alternatif dari peran yang bertolak belakang antara pria dan wanita, yaitu tipe androgini (Nauly, 2003). Adapun pengertian dari masing-masing peran gender  maskulin, feminin dan androgini adalah sebagai berikut :

  •     Maskulin : menurut Hoyenga & Hoyenga (dalamm Nauly, 2003) adalah ciri-ciri yang berkaitan dengan gender  yang lebih umum terdapat pada laki-laki, atau suatu peran atau trait maskulin yang dibentuk oleh budaya. Dengan demikian maskulin adalah sifat dipercaya dan bentuk oleh budaya sebagai ciri-ciri yang ideal bagi laki-laki (Nauly, 2003). Misalnya asertif dan dominan dianggap sebagai trait maskulin.
  •     Feminin: feminin menurut Hoyenge & Hoyenga (dalam Nauly, 2003) adalah ciri-ciri atau trait yang lebih sering atau umum terdapat pada perempuan daripada laki-laki. Ketika dikombinasikan dengan “stereotipikal”, maka ia mengacu ada trait yang diyakini lebih berkaitan pada perempuan daripada laki-laki secara kulturi pada budaya atau subkultur tertentu. Berarti, feminin merupakan ciri-ciri atau trait yang dipercaya dan dibentuk oleh budaya sebagai ideal bagi perempuan (Nauly, 2003).
  •    Androgini : selain pemikiran tentang maskulin dan feminitas sebagai berada dalam suatu garis kontinum, dimana lebih pada satu dimensi berarti kurang pada dimensi yang lain, ada yang menyatakan bahwa individu-individu dapat menunjukkan sikap ekspresif dan instrumental. Pemikiran ini memicu perkembangan kondep androgini. Androgini adalah tingginya kehadiran karakteristik maskulin dan feminin yang diinginkan pada satu individu pada saat bersamaan (Bem, Spence & Helmrich, dalam Santrock, 2003). Individu yang androgini adalah seorang laki-laki yang asertif (sifat maskulin) dan mengasihi (sifat feminin), atau seorang perempuan yang dominan (sifat maskulin) dan sensitif terdapat perasaan orang lain (sifat feminin). Beberapa penelitian menemukan bahwa androgini berhubungan dengan berbagai atribut yang sifatnya positif, seperti self-esteem yang tinggi, kecemasan rendah, kreatifitas, kemampuan parenting yang efektif (Bem, Spence dalam Hughes & Noppe, 1985).


Daftar Pustaka :